Senin, 28 Maret 2011

Langkah-langkah Menuju Tuhan


Wenstein Chamberlein, sebuah hutan hujan tropis, dengan aliran sungai yang masih jernih , pepohonan yang tinggi yang menutupi hampir seluruh pandangan ke langit dengan hijaunya daun dan nuansa hijaunya yang membuat pikiran penat ini hilang. Keindahan ini dilengkapi dengan udara pagi yang segar bebas dari segala polutan kota, suara burung-burung dan hewan-hewan hutan lainnya yang melakukan aktivitasnya, dan terpaan-terpaan tipis sinar matahari yang menembus rindangnya pepohonan di hutan yang menghangatkan tubuh dan jiwa. Ternyata melakukan penelitian di hutan ini untuk melanjutkan tesis doktoralku tidak seburuk yang kubayangkan.

Dua minggu berdiam di hutan ini membuatku banyak berpikir tentang keindahan alamiah hutan ini. Keindahan warna hijaunya daun, birunya langit-langit di siang hari, beningnya air sungai, hitamnya malam yang diselimut peraknya bintang-bintang, perpaduan berbagai warna pada bulu-bulu burung dan lain-lain. Begitu hebatnya keindahan ini memancingku untuk bertanya...siapa pencipta keindahan ini?

Siapa? Aku mencoba duduk rileks di rumah hutanku sambil memandang langit dengan gumpalan-gumpalan awan yang menyerupai kapas, mencoba untuk membuka kembali lembar ingatanku tentang teori asal-usul kehidupan mahluk hidup. Charles Darwin pun muncul diingatanku. Di bukunya” The Origin of Species”, Darwin mengungkapkan bahwa mahluk hidup pertama adalah ‘sel tunggal’ yang nantinya akan membelah membentuk sel-sel mahluk hidup baru. Kenapa bisa menjadi banyak spesies? Darwin cuma mengungkapkan karena terjadinya seleksi alam- yang ia sebut sebagai evolusi-, dan seleksi alam ini pun terjadi secara kebetulan. Sel Tunggal yang dimaksud pun muncul secara kebetulan, dan sampai sekarang pun tidak dapat dibuktikan secara ilmiah tentang bagaimana munculnya sel tersebut. Bagaimana dengan alam semesta ini? Menurut mereka-yang sepaham dengan darwin- alam semesta ini ‘sudah ada dari dulu’ dengan waktu yang tidak terbatas dan karena tidak diciptakan maka tidak ada awal dan akhirnya.

Kebetulan? Aku tidak percaya dengan yang namanya kebetulan. Kalau aku berpikir bahwa segala keindahan alam ini disertai dengan komposisi warnanya yang sempurna terbentuk secara kebetulan, berpikir bahwa bumi dengan lapisan-lapisan atmosfer yang tiap tekanan udaranya berbeda sehingga membuat bumi memiliki lapisan ozon untuk melindungi isi bumi ini dari benda-benda luar angkasa yang akan menabraknya terbentuk secara kebetulan, bahwa unit terkecil penyusun manusia, yaitu sel, memiliki sistem yang luar biasa kompleks dan sudah memiliki berbagai fasilitas tertentu untuk melindungi tubuh kita dari berbagai bakteri dan virus yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang terbentuk secara kebetulan, dan berpikir bahwa jarak antara bumi dengan matahari begitu ‘pasnya’ sehingga bila terlalu jauh atau dekat akan membakar atau membekukan bumi itu sendiri terbentuk secara kebetulan, aku pasti sudah gila.

Bagiku, bila alam semesta dengan segala isinya dan berbagai peristiwa hebat yang terjadi didalamnya terbentuk –sekonyong-konyong- dan aku hidup hanya untuk memenuhi kekosongan waktu atau sekedar ‘hidup’ di dunia ini. Itu lelucon yang paling konyol yang pernah ada

Dari sifat kritisku ini, Aku mengakui dan aku percaya bahwa sang perancang alam semesta ini ada-dengan kata lain- aku percaya bahwa Tuhan itu ada. Bagaimana dengan agama? Entahlah sudah terlalu banyak agama di bumi ini. Menurutku, agama hanyalah pandangan ideologis seseorang yang sudah mencapai suatu kesuksesan tertentu.

Tiba-tiba alunan musik dari handphoneku berbunyi. SMS yang datang memecah lamunanku di pagi ini. Namun kejutan kembali menghampiri saat kubaca isi SMS dari kakakku yang singkat “Dik, cepat pulang ke Indonesia, kakek meninggal.”

*

Rumah Kakek mulai penuh akan pelayat. Ada yang sedih, ada yang hanya termenung, yang merasa biasa saja, dan sebagainya. Aku termasuk yang termenung. Kakek adalah mantan pebisnis handal. Dia memiliki berbagai usaha dan sudah memliki berbagai cabang. Oleh karena itulah, kakek dengan kebaikan hati dan kedermawanannya, membiayai seluruh biaya kuliah S3 ku di Australia. “ Raihlah ilmu sebanyak mungkin, ada kebijakan di dalamnya”, itulah yang sering dikatakan kakek kepadaku.

Ada yang unik dalam pemakaman kakek. Kakek menulis dalam surat wasiatnya agar semua kekayaannya membayar semua utangnya terlebih dahulu dan sisanya diwariskan sesuai peraturan islam. Begitu juga pengurusan jenazahnya, beliau ingin jenazahnya dikafani seperti orang islam. Banyak pihak keluarga yang agak ‘berang’ dengan permintaan terakhir ini. Aku? Aku hanya berpikir, kenapa harus secara islam? Apakah beliau masuk agama islam?

Kakek, dengan segala pencapaian di dunia ini, pada akhirnya harus masuk pada tanah yang sempit dan ditinggalkan sendiri dari segala kekayaannya, dan beliau memilih mati dengan identitas seorang islam. Islam....ada apa di balik agama ini? Kakek adalah orang yang pintar lagi bijaksana dan aku mengakuinya. Pasti ada sesuatu yang menarik yang membuat kakek untuk memilih agama ini.

*

Kembali ke Australia, masih ada satu hal yang menggantung pikiranku, Islam. Sebelumnya, aku pernah bertanya pada beberapa temanku- yang bukan islam- mengenai islam. Jawabannya bermacam-macam. Islam adalah agama teroris. Islam adalah agama yang membolehkan penganutnya untuk membunuh orang lain yang tidak sepaham dengannya. Islam adalah agama yang didirikan oleh Muhammad dan ajarannya ditulis dalam kitab suci bernama Al Quran. Untuk dua jawaban sebelumnya, kupikir jawaban itu bersifat subjektif dan sepihak, yang membuatku penasaran adalah pernyataan ketiga. Muhammad? Siapa dia? Aku hanya pernah mendengarnya dari berita-berita, bahwa karikatur beliau amat dilarang keras oleh penganut agama islam dan sempat terjadi kemarahan oleh seluruh penganut agama islam di berbagai belahan dunia saat ada yang berani membuat karikatur beliau. Waw, sepertinya sosok Muhammad adalah sosok yang begitu hebat bagi penganut agama islam sehingga membuat mereka begitu bersatu untuk membelanya. Lagi-lagi, ini memancingku untuk menggali lebih dalam tentang Muhammad.

Whinston University, Aku kembali ke sini untuk membicarakan isi tesisku dengan dosen pembimbingku. Duduk di ruangan dosen, sambil menunggu kedatangan dosenku. Bosannya. Aku memang benci menunggu. Namun kebosanan itu segara terusir saat aku melihat Al-Quran terletak di meja dosen. Tanpa ragu, aku mengambilnya dan mulai membaca kitab buatan Muhammad ini.

“ Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap pada tempatnya, padahal ia berjalan seperti jalannya awan. Begitulah yang diperbuat Alloh yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.....An Naml....ayat 77...Ini...tentang rotasi bumi kan?”

“Dean...?”

Aku terperanjat kaget. Aku terlalu keasyikan membaca sehingga tidak sadar dosenku sudah datang dari tadi, melihatku dari belakang.

“ Sepertinya ada yang ingin kau tanyakan?” katanya santai

“Sebenarnya...ada. Apakah Muhammad seorang ilmuan? “

“Bukan. Dia adalah seorang manusia mulia yang diutus oleh Tuhan untuk menyampaikan kebenaran sejati. “

“Utusan Tuhan? Kebenaran sejati? Apa maksudnya? “

“ Dia diberikan tugas oleh Tuhan untuk menyampaikan kebenaran yang bersumber dari Tuhan langsung, dan segala kebenaran tersebut dikumpulkan dalam Al-Quran. Kitab yang kau pegang sekarang...”

“Bukankah Al-Quran buatan Muhammad?”

“Beliau buta huruf dan tidak bisa menulis. Dean...coba kau pikirkan...kitab ini sudah 1400 tahun yang lalu dimana saat itu ilmu pengetahuan belum berkembang. Namun kitab ini sudah menceritakan beberapa peristiwa alam yang baru terkuak di abad 20 ini. Bagaimana lagi Muhammad bisa tahu kalau yang memberi tahunya adalah Tuhan- sang pencipta alam ini.”

Badanku merinding. Aku begitu berdebar merasakan kesenangan yang begitu hebat ini, mengetahui ada suatu kitab yang memuat ilmu-ilmu pengetahuan bersumber dari Tuhan, yang kebenarannya mutlak.

“...bagi kami, muslim, mengakui kebesaran-kebesaran Alloh dengan mencarinya di seluruh alam semesta ini adalah suatu kewajiban. Mengajarkannya pada seluruh manusia pun adalah suatu kewajiban.” Kata Dosenku agak perlahan.

“Kewajiban? Apakah itu perintah dari Tuhan?”

“Ya, itu seharusnya tugas kita semua sebagai ciptaan-Nya. Bagi kami hidup tidak hanya sekali saja di dunia ini. Saat kami meninggal nanti, kami akan dipertemukan dengan Alloh dan akan diberikan suatu kenikmatan abadi apabila kami telah melaksanakan perintah Alloh. Kau tahu Dean...? hidup tidak hanya belajar akademis untuk mendapatkan berbagai gelar, mencari pekerjaan, berkeluarga, memiliki cucu, dan akhirnya meninggal dunia. Ada tugas mulia dari Alloh untuk kita semua...inti dari tugas itu cukup sederhana...membuat kehidupan di dunia ini menjadi lebih baik sesuai yang diajarkan Alloh. ”

Hatiku rasanya meledak, bahagia, mendengar semua kenyataan ini. Akhirnya aku mengerti kenapa Kakek meninggal dengan identitas seorang muslim. Karena islam adalah agama yang mulia.

“ Tuan Yusuf, bisakah kau memberitahuku lebih dalam mengenai islam?” tanyaku

“ Dengan senang hati Dean, hmm....apakah dengan ini kau mengakui bahwa adanya Alloh, Tuhan yang Maha Esa dan Muhammad adalah utusan Tuhan yang Maha Esa?”

“Ya! Aku mengakuinya!” (mory)

Kisah Seorang Reforman


Bagi Fadhila, mungkin saat ini adalah saat-saat yang paling berat di masa hidupnya. Impiannya untuk bekerja di salah satu kantor pemerintah dengan penuh integritas, toalitas, dan keikhlasan mulai terkikis saat dihadapi kenyataan bahwa ia harus bekerja dengan berbagai ‘kebobrokan’ yang ada di kantornya, baik itu aparat atau sistemnya. Kata-kata indah bertuliskan “Reformasi Birokrasi” itu kini terlihat seperti “ Reformasi Korupsi”, dimana segala penyimpangan mulai tersistematis dan dilakukan secara berjamaah.

Fadhila tidak diam, dia melawan kebobrokan di kantornya dengan penuh keyakinan, sayangnya Fadhila adalah golongan minoritas di kantornya. Berbagai ancaman, rayuan dan tuntutan diembatnya untuk mengajak Fadhila menjadi salah satu jamaah penyimpangan di kantornya. Alhamdulillah, Fadhila masih memiliki harga diri untuk tidak berbuat serendah itu dan dia bangga dengan hal tersebut.

Mengetahui keberadaan Fadhila amat membahayakan bagi para jemaah ‘koruptor’ di kantornya, mereka pun merencanakan untuk menyingkirkan Fadhila. Mereka menyimpulkan hal tersebut karena Fadhila sudah mengetahui manipulasi-manipulasi di balik laporan keuangan kantor tersebut, dia juga mengetahui bahwa pihak kantor sudah menyiapkan rencana untuk menyuap pihak auditor untuk memberikan penilaian baik bagi laporan keuangan kantor tersebut.

Sebelum Fadhila hendak melaporkan penyimpangan kantornya pada Komisi Pemberantas Korupsi, kabar buruk menimpanya. Ibunya sakit keras dan harus dioperasi dengan biaya yang mahal. Hal ini membuat Fadhila kebingungan mencari biaya untuk ibunya dan merupakan kesempatan para jemaah koruptor untuk memojokannya. Mereka mulai melakukan penawaran pada Fadhila bahwa mereka akan membiayai seluruh biaya pengobatan ibunya selama Fadhila bungkam atas segala penyimpangan yang terjadi. Fadhila tentu saja menolak, namun dengan berbagai pertimbangan yang ada, benih-benih keraguan mulai menggerogoti Fadhila. Bagi Fadhila, ibunya merupakan satu-satunya keluarga yang dia miliki yang amat dia cintai. Selain itu, beliu adalah orang yang paling rajin memotivasi anaknya untuk menjadi orang yang jujur dan benar.

Fadhila mulai bimbang antara kesembuhan ibunya dengan kebenaran yang harus dia ungkapkan. Belum lagi kabar bahwa ada seseorang yang mencelakakan ibunya di rumah sakit yang hampir menimbulkan akibat yang fatal. Fadhila yakin bahwa ini merupakan ancaman dari para jemaah koruptor kantornya, namun ia tidak bisa membuktikannya. Di tengah kebimbangannya, Fadhila pergi ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya.

“ Assalamualaikum, Bu...” Salam Fadhila sembari masuk kamar inap ibunya.

“ Walaikumsalam Warrahmatulah, Dila! Kesini, nak...” jawab ibunya.

Fadhila mencium tangan ibunya dan duduk disampingnya. Fadhila menanyakan kondisi kesehatan ibunya layaknya seseorang yang menjenguk orang sakit, namun di balik pertanyaannya, ibunya menyadari bahwa Fadhila menyembunyikan suatu kegelisahan didalam hatinya.

“...Dhila, ada apa denganmu? Kau sepertinya tidak sehat?” Tanya ibunya.

“ Tidak, tidak apa-apa Bu...” jawab Fadhila singkat.

“ Jangan berbohong pada ibu, ibu mengetahui apa yang kamu sembunyikan.”

Fadhila kehilangan kata-kata untuk berdalih. Kegelisahan yang ia simpan didalam hatinya amat begitu menyakitkan dan ia ingin mengeluarkannya. Akhirnya, Fadhila menceritakan peristiwa dilematisnya pada ibunya untuk mengurangi kegelisahannya.

“ Jadi, apa yang akan kau lakukan Dhil...?” tanya ibunya.

“...mungkin, Aku akan bungkam untuk sementara demi penyembuhan ibu, lalu bila suasana sudah kondusif, aku akan melaporkannya. Tapi..aku...” Jawab Dhila terbata-bata.

“ Apakah kau ingin membuat ibumu berdosa nak...?”

“ Tidak! Apa maksud Ibu? Aku hanya melakukan yang terbaik bagi Ibu!”

“ Apakah dengan membiarkan suatu kejahatan di kantormu yang telah menyesengsarakan jutaan rakyat yang tidak bersalah membuat ibu lebih baik?”

“...tapi...bagaiamana dengan kondisi ibu...? A-Aku takut kondisi ibu makin parah lalu...”

“ Fadhila! Ibu lebih baik bertahan atas ujian yang diberikan Alloh kepada ibu, dibanding ibu harus meminta keringanan ujian dari jalan yang dilaknat oleh Alloh dan mendzholimi umat! Kalau kamu bersikukuh melakukannya, itu berarti kau mendzholimi Alloh, ibu, dan orang-orang yang tidak bersalah!”

Fadhila pun terdiam. Dia kehilangan kata-kata untuk membela keraguannya. Dia menyadari bahwa ini ujian dari Alloh dan apapun bentuk ujiannya, dia harus tetap teguh untuk memilih jalan Alloh. Pernyataan ibunya telah membangkitkan kembali hatinya untuk melaporkan kejahatan yang terjadi di kantornya.

Akhirnya, Fadhila memutuskan untuk melaporkan kejahatan yang terjaadi di kantornya sesaat sesudah meninggalkan ibunya. Tak lupa ia meminta perlindungan pada KPK untuk ibunya dan dirinya sendiri. Tentu saja, berbagai ancaman yang menjadi-jadi mulai muncul menerkam Fadhila. Belum lagi berbagai fitnah pada Fadhila di kantornya, namun hal-hal tersebut tidak membuat Fadhila gentar. Hatinya sudah teguh untuk melawan penyimpangan ini.

Selang beberapa minggu setelah pelaporan Fadhila pada Komisi Pemberantasan Korupsi, para oknum-oknum kantornya mulai ditahan oleh pihak yang berwenang. Atas jasa Fadhila, pejabat tertinggi mengangkat Fadhila menjadi pemimpin baru kantor pemerintahan tersebut. Selain itu, kondisi ibunya mulai membaik, hal ini dikarenakan kondisi mental ibunya yang semakin kuat yang mendukung penyembuhan. Sebagai pemimpin baru, Fadhila memiliki visi untuk kinerja aparat yang lebih profesional dan penuh dengan integritas. Dari peristiwa sebelumnya, Fadhila menyadari bahwa suatu kebaikan- baik itu profesionalisme, integritas dan sebagainya- butuh pengorbanan dan keyakinan yang begitu besar pada Alloh. Karena hanya dengan izin-Nya lah, segala pertolongan, kekuatan dan ketentraman muncul pada diri. (Mory)