Senin, 28 Maret 2011

Kisah Seorang Reforman


Bagi Fadhila, mungkin saat ini adalah saat-saat yang paling berat di masa hidupnya. Impiannya untuk bekerja di salah satu kantor pemerintah dengan penuh integritas, toalitas, dan keikhlasan mulai terkikis saat dihadapi kenyataan bahwa ia harus bekerja dengan berbagai ‘kebobrokan’ yang ada di kantornya, baik itu aparat atau sistemnya. Kata-kata indah bertuliskan “Reformasi Birokrasi” itu kini terlihat seperti “ Reformasi Korupsi”, dimana segala penyimpangan mulai tersistematis dan dilakukan secara berjamaah.

Fadhila tidak diam, dia melawan kebobrokan di kantornya dengan penuh keyakinan, sayangnya Fadhila adalah golongan minoritas di kantornya. Berbagai ancaman, rayuan dan tuntutan diembatnya untuk mengajak Fadhila menjadi salah satu jamaah penyimpangan di kantornya. Alhamdulillah, Fadhila masih memiliki harga diri untuk tidak berbuat serendah itu dan dia bangga dengan hal tersebut.

Mengetahui keberadaan Fadhila amat membahayakan bagi para jemaah ‘koruptor’ di kantornya, mereka pun merencanakan untuk menyingkirkan Fadhila. Mereka menyimpulkan hal tersebut karena Fadhila sudah mengetahui manipulasi-manipulasi di balik laporan keuangan kantor tersebut, dia juga mengetahui bahwa pihak kantor sudah menyiapkan rencana untuk menyuap pihak auditor untuk memberikan penilaian baik bagi laporan keuangan kantor tersebut.

Sebelum Fadhila hendak melaporkan penyimpangan kantornya pada Komisi Pemberantas Korupsi, kabar buruk menimpanya. Ibunya sakit keras dan harus dioperasi dengan biaya yang mahal. Hal ini membuat Fadhila kebingungan mencari biaya untuk ibunya dan merupakan kesempatan para jemaah koruptor untuk memojokannya. Mereka mulai melakukan penawaran pada Fadhila bahwa mereka akan membiayai seluruh biaya pengobatan ibunya selama Fadhila bungkam atas segala penyimpangan yang terjadi. Fadhila tentu saja menolak, namun dengan berbagai pertimbangan yang ada, benih-benih keraguan mulai menggerogoti Fadhila. Bagi Fadhila, ibunya merupakan satu-satunya keluarga yang dia miliki yang amat dia cintai. Selain itu, beliu adalah orang yang paling rajin memotivasi anaknya untuk menjadi orang yang jujur dan benar.

Fadhila mulai bimbang antara kesembuhan ibunya dengan kebenaran yang harus dia ungkapkan. Belum lagi kabar bahwa ada seseorang yang mencelakakan ibunya di rumah sakit yang hampir menimbulkan akibat yang fatal. Fadhila yakin bahwa ini merupakan ancaman dari para jemaah koruptor kantornya, namun ia tidak bisa membuktikannya. Di tengah kebimbangannya, Fadhila pergi ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya.

“ Assalamualaikum, Bu...” Salam Fadhila sembari masuk kamar inap ibunya.

“ Walaikumsalam Warrahmatulah, Dila! Kesini, nak...” jawab ibunya.

Fadhila mencium tangan ibunya dan duduk disampingnya. Fadhila menanyakan kondisi kesehatan ibunya layaknya seseorang yang menjenguk orang sakit, namun di balik pertanyaannya, ibunya menyadari bahwa Fadhila menyembunyikan suatu kegelisahan didalam hatinya.

“...Dhila, ada apa denganmu? Kau sepertinya tidak sehat?” Tanya ibunya.

“ Tidak, tidak apa-apa Bu...” jawab Fadhila singkat.

“ Jangan berbohong pada ibu, ibu mengetahui apa yang kamu sembunyikan.”

Fadhila kehilangan kata-kata untuk berdalih. Kegelisahan yang ia simpan didalam hatinya amat begitu menyakitkan dan ia ingin mengeluarkannya. Akhirnya, Fadhila menceritakan peristiwa dilematisnya pada ibunya untuk mengurangi kegelisahannya.

“ Jadi, apa yang akan kau lakukan Dhil...?” tanya ibunya.

“...mungkin, Aku akan bungkam untuk sementara demi penyembuhan ibu, lalu bila suasana sudah kondusif, aku akan melaporkannya. Tapi..aku...” Jawab Dhila terbata-bata.

“ Apakah kau ingin membuat ibumu berdosa nak...?”

“ Tidak! Apa maksud Ibu? Aku hanya melakukan yang terbaik bagi Ibu!”

“ Apakah dengan membiarkan suatu kejahatan di kantormu yang telah menyesengsarakan jutaan rakyat yang tidak bersalah membuat ibu lebih baik?”

“...tapi...bagaiamana dengan kondisi ibu...? A-Aku takut kondisi ibu makin parah lalu...”

“ Fadhila! Ibu lebih baik bertahan atas ujian yang diberikan Alloh kepada ibu, dibanding ibu harus meminta keringanan ujian dari jalan yang dilaknat oleh Alloh dan mendzholimi umat! Kalau kamu bersikukuh melakukannya, itu berarti kau mendzholimi Alloh, ibu, dan orang-orang yang tidak bersalah!”

Fadhila pun terdiam. Dia kehilangan kata-kata untuk membela keraguannya. Dia menyadari bahwa ini ujian dari Alloh dan apapun bentuk ujiannya, dia harus tetap teguh untuk memilih jalan Alloh. Pernyataan ibunya telah membangkitkan kembali hatinya untuk melaporkan kejahatan yang terjadi di kantornya.

Akhirnya, Fadhila memutuskan untuk melaporkan kejahatan yang terjaadi di kantornya sesaat sesudah meninggalkan ibunya. Tak lupa ia meminta perlindungan pada KPK untuk ibunya dan dirinya sendiri. Tentu saja, berbagai ancaman yang menjadi-jadi mulai muncul menerkam Fadhila. Belum lagi berbagai fitnah pada Fadhila di kantornya, namun hal-hal tersebut tidak membuat Fadhila gentar. Hatinya sudah teguh untuk melawan penyimpangan ini.

Selang beberapa minggu setelah pelaporan Fadhila pada Komisi Pemberantasan Korupsi, para oknum-oknum kantornya mulai ditahan oleh pihak yang berwenang. Atas jasa Fadhila, pejabat tertinggi mengangkat Fadhila menjadi pemimpin baru kantor pemerintahan tersebut. Selain itu, kondisi ibunya mulai membaik, hal ini dikarenakan kondisi mental ibunya yang semakin kuat yang mendukung penyembuhan. Sebagai pemimpin baru, Fadhila memiliki visi untuk kinerja aparat yang lebih profesional dan penuh dengan integritas. Dari peristiwa sebelumnya, Fadhila menyadari bahwa suatu kebaikan- baik itu profesionalisme, integritas dan sebagainya- butuh pengorbanan dan keyakinan yang begitu besar pada Alloh. Karena hanya dengan izin-Nya lah, segala pertolongan, kekuatan dan ketentraman muncul pada diri. (Mory)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar