Pada suatu masa, di suatu kerajaan hiduplah seorang raja yang amat diktator. Semua peraturan berasal dari pemikirannya sendiri dan mutlak harus dipenuhi oleh rakyatnya, baik rakyat itu suka atau tidak suka. Rakyat tidak bisa berbuat apa-apa karena konsekuensi dari pembangkangan sekecil apapun adalah hukum pancung. Titik.
Di tengah ‘kedamaian’ semu akibat dari peraturan-peraturan Raja yang kurang adil bagi rakyatnya, munculah tiga pemuda yang mulai menanam bibit perlawanan terhadap Raja. Mereka pun mulai mempelopori berbagai gerakan pemberontakan di tengah masyarakat untuk melawan Raja. Sayangnya, harapan tidak semulus kenyataan. Dari salah satu gerakan pemberontakan, ada beberapa orang yang menjadi pengkhianat dan memberitahu Raja akan keberadaan para pemuda pelopor gerakan tersebut.
Raja yang mengetahuinya pun langsung naik pitam dan menyuruh seluruh pasukannya untuk mencari dan langsung memancung mereka di hadapan masyarakat banyak. Menyikapi hal tersebut, ketiga pemuda tersebut langsung lari dari kota untuk mengasingkan diri ke kota tetangga terlebih dahulu. Sialnya, di tengah pelarian mereka ketahuan oleh pasukan kerajaan.
Di tengah kepanikan dari kejaran pasukan kerajaan, ketiga pemuda tersebut memutuskan untuk bersembunyi di gua dekat kota. Gua tersebut amat besar, gelap dan dingin. Apa daya, mereka pun memutuskan bersembunyi disana sementara. Para pasukan kerajaan sebenarnya mengetahui bahwa ketiga pemuda tersebut ada didalam gua. Namun mereka memilih untuk menunggu di depan pintu masuk gua. Hanya ada dua pilihan bagi ketiga pemuda tersebut, menyerahkan diri ke pasukan kerajaan atau mati kelaparan di dalam gua.
“Hei para penghkianat Raja! Waktu kalian semakin sempit! Memohonlah pada Raja kami! Kami Siap membantu Kalian!” Teriak salah satu tentara kerajaan di mulut gua. Teriakan ini menjadi rutin selama seminggu ini.
“ Dasar tikus-tikus kerajaan! Mereka kira kita bisa luluh dengan tawaran manis seperti itu? “ kata salah seorang pemuda dengan nada berang.
“ Sudah seminggu kita bertahan di gua ini. Tidak ada makanan yang tersedia melainkan serangga-serangga yang aku sendiri tidak tahu apakah mereka layak dimakan atau tidak. Kita beruntung ada mata air kecil disini. Tapi sampai kapan kita bertahan…?” kata salah seorang pemuda dengan penuh pemikiran.
“ Hei! Ada apa dengan nada pesimismu itu?! Jangan bilang kau sudah bosan dengan perjuangan kita selama ini!” timpal pemuda tersebut dengan emosi.
“ Aku hanya bersikap realistis. Akhir-akhir ini aku berpikir…bagaimana kalau kita menyerahkan diri kepada Raja?”
“ Oh Silahkan! Terakhir kudengar orang yang memohon ampun pada raja kepalanya menggelinding di depan kakinya sambil ditertawai!”
“ Dengarkan aku dulu! Penyerahan diri kita ini hanya salah satu strategi untuk menipu raja! Kita punya pengaruh yang kuat di masyarakat kali ini, mungkin hal ini bisa kita negoisasikan dengan Raja!”
“ Bodoh! Kau ini tidak tahu hakikat perjuangan kita ya? Kita berjuang untuk melawan penindasan Raja! Aku tidak akan pernah setuju kalau aku harus menang melawan Raja dengan menjilatnya terlebih dahulu!
“ Ah, Kau dan idealismu yang muluk. Saat ini yang terpenting adalah posisi kita terlebih dahulu! Kita dibutuhkan untuk perjuangan ini!”
“Lalu, apa kata saudara-saudara perjuangan kita di kota saat ini?! Apa kau kira mereka akan memaafkan kita bila kita ketahuan menjilat raja?”
“ Aku ingin menang. Cara apapun akan kutempuh, ingat itu. Memangnya kau pikir ‘saudara-saudara’ seperjuangan kita memikirkan kita yang kepayahan selama seminggu ini tanpa makanan dan minuman yang layak hah?!”
Selama seminggu ini, perdebatan antar dua pemuda tersebut masih terdengar, walaupun dengan bahasa dan emosi yang berbeda. Namun, bisa dibilang hari ini adalah puncaknya. Ada satu hal yang menarik selama seminggu ini. Pemuda ketiga dari ketiga pemuda tersebut tidak banyak berdebat. Dia sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Hari pertama dia meraba-raba permukaan dinding gua, mencari permukaan dinding yang rawan untuk dihancurkan. Pada saat itu kedua pemuda temannya masih membantunya.
Hari Kedua, akhirnya para pemuda tersebut berhasil menemukan dinding permukaan gua yang rawan untuk dihancurkan. Mereka pun mulai mencari apapun yang ada untuk menghancurkan dinding tersebut. Hari demi hari berlalu, di tengah kegelapan, penat, tawaran tentara kerajaan dan tekanan mental yang begitu berat mereka terus mencoba menghancurkan dinding tersebut. Di hari ke 4 kedua pemuda mulai berpikir pesimis. Mereka berpikir bahwa dinding tersebut masih terlalu tebal, namun di tengah kegalauannya mereka terus mencoba.
Hari ke 5 adalah puncak kesabaran dua pemuda tersebut. Mereka mulai menyerah dan mulai berdebat atas tawaran tentara kerajaan. Sementara pemuda yang lain tetap konsisten dengan upayanya. Dia masih yakin akan usahanya.
Sekarang sudah mencapai hari ketujuh, kondisi emosi yang makin labil dan perdebatan yang makin sengit sudah memenuhi kedua pemuda tersebut.
“Cukup dengan semua ini! Kali ini aku akan menyerahkan diri pada raja! Aku akan mencoba strategiku!”
“Tunggu! Kau kira raja akan begitu saja meminta negoisasimu?! Bisa-bisa kau dipancung ditempat!”
“Aku sudah muak dengan perdebatan ini, sekarang kau pilih mau ikut aku atau menunggu ajalmu disini dengan idealisme konyolmu itu?!”
“ Lebih aku mati disini mempertahankan harga diriku. Kau boleh tetap menemaniku atau memilih kepalamu bergelinding di hadapan masyarakat banyak sesaat setelah kau keluar mulut gua!”
“Dasar keras ke—“
“Teman-Teman! Lihat ini!” teriak pemuda ketiga dengan riangnya yang dari tadi mencoba menghancurkan permukaan dinding gua yang rawan.
Ketiga pemuda tersebut kaget. Mereka melihat seberkas cahaya matahari masuk dari lubang kecil yang dibuat pemuda ketiga. Tanpa perintah, mereka pun mulai bersemangat mencoba menghancurkan dinding tersebut. Lubang tersebut makin membesar dan akhirnya mereka pun berhasil keluartanpa ketahuan pasukan kerajaan.
Indahnya biru langit, cerah dan hangatnya sinar matahari, semilir angin dan desiran rumput yang melegakan hati kembali mereka rasakan. Tubuh mereka serasa bebas, ada suatu kebahagiaan yang mendalam yang mereka rasakan setelah bertahan di gua tersebut selama seminggu.
Kedua pemuda yang semula berdebat sengit pun hanya menangis terharu dari kebebasan ini dan mulai berbaikan kembail, sedangkan pemuda ketiga hanya tersenyum simpul sambil memandang kerajaan.
“Wahai kawan, tanpa usaha dan keyakinanmu, tak mungkin aku bisa merasakan kebebasan yang indah ini. Maafkanlah sikap kami, kalau boleh tahu apa yang membuatmu begitu gigih kawan? Apakah kau begitu benci pada Raja sehingga memberikan kegigihan yang kuat?”
“ Aku mungkin membenci kediktatoran raja. Tapi bukan itu alasan utamaku. Saat aku mempelopori gerakan pemberontakan atau saat aku berusaha mencari jalan keluar di gua tersebut, pikiranku hanya satu. Aku sedang melawan diriku sendiri.”
“Melawan dirimu sendiri? Apa maksudmu kawan?”
“Ya, aku melawan semua pengaruh negatif yang menyerang diriku. Pengaruh negatifuntuk menyerah atas penindasan raja atau untuk memilih jalan pintas seperti memilih menyerah tanpa perlawanan atau bergabung melawan ketidakadilan dengan organisasi ketidakadilan. Bagiku, semua pengaruh negatif tersebut bebas menyerangku, namun keputusan untuk tetap menolaknya atau menerimanya mutlak ada di tangan dan pikiranku.”
Kedua pemuda tersebut tampak malu. Mereka pun kembali bertanya
“ Jadi kau pikir saat kita berhasil menggulingkan raja, kita bisa merdeka?”
“ Saat ini mungkin ya, tapi pengaruh negatif itu terus akan menyerang kita sampai akhir hayat nanti. Siapa tahu, saat kita berhasil menggulingkan raja, kita malah jadi ‘diktator’ selanjutnya?”
“ Ucapan yang hebat kawan. Kami mengakui kesalahan kami. Apa yang membuatmu begitu yakin dalam melawan pengaruh negatifmu itu?”
“ karena Aku yakin Tuhan tidak buta melihat perjuangan hamba-Nya dan dunia ini sudah diatur bahwa orang yang memilih jalan-Nya lah yang akan menang”. (mory)
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar